Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan
Syadida..Aku sangat terkesan dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab
ayat tujuh puluh, maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak
menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh fauzan’adzima, kemenangan
yang besar seperti yang engkau telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran.
Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur…1981 Tahun ini
engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi
engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau
berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan gagah
tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu.
Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku
mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak
kutemukan dalam diri saudarimu yang lain.1987 Putriku, sungguh aku
pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas Cermat tingkat
nasional di TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh
percayar diri di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku;
itu anakku Qaulan…Meski tidak juara pertama, aku tetap bangga padamu.
Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu kekhawatiran
akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku.
Tidak seperti keempat kakakmu yang kalem dan
cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkaujustru sangat angresif,
pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara
kelas.Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan
taman, mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku memanjat
membetulkan bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya
tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur
seperti saudarimu yang lain.Kebersamaan dan kedekatanmu denganku,
membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang
hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan
pengatahuan dan permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua
pergi memancing atau sekedar menaikkan layang-layang sore hari di
lapangan madrasah tempat aku mengajar.
Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga.
Engkau menolak bersekolah di tsanawiyah seperti saudarimu. Diam-diam
tanpa sepengetahuanku engkau telah mendaftar di sebuah SMP negeri. Bukan
kepalang kemarahanku. Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak
mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya
watakmu, bahkan tak setetes airmata jatuh dari kedua matamu yang tajam
menatapku.Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir
engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku.
Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti keempat
kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu, Nak…1993 Tahun ini
engkau menamatkan SMAmu. Engaku tumbuh menjadi gadis cantik, periang,
pemberani, dan banyak teman.
Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang
becak, wartawan, bahkan menurut ibumu pernah anggota Kopassus datang
mencarimu.Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau
adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil Ustadz, putri
seorang kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan Islam…Putriku,
entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu. Sedih rasanya
berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa
senti dengan rambutku. Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan
yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika terjadi sesuatu yang tidak baik pada
dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang
paling bertanggung jawab atas kesalahan itu. Aku tidak behasil
mendidikmu dengan cara yang Islami.Dalam doa-doa malamku selalu
kebermohon pada Rabbul ‘Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika
lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan makin bertambah
takkala diam-diam engkau ikut UMPTN dan lulus di fakultas teknik.
Fakultas teknik, putriku? Ya Rabbana, aku tak sanggup membayangkan
engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak laki-laki dan bukan
satupun mahrommu?Dalam silsilah keluarga kita tidak satupun anak
perempuan belajar ilmu teknik, anakku. Keempat kakakmu menimba ilmu di
institut agama dan ilmu keguruan. Ya, silsilah keluarga kita adalah
keluarga guru, anakku.
Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa Islam juga
butuh arsitek, butuh teknokrat, Islam bukan tentang ibadah
melulu…Baiklah, aku sudah terlalu lelah menghadapimu, aku terima segala
argumen dan pemikiranmu,putriku..Dan aku akan lebih bisa menerima
seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai masa
kuliahmu.1995 Tahun ini tidak akan pernah kulupakan. Akan kucatat
baik-baik…Engkau putriku, yang selalu kusebut namamu dalam doa-doaku,
kiranya Allah S.W.T mendengar dan mengabulkan pintaku. Ketika engkau
pulang dari kuliahmu; subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab
dan baju panjangmu, aku sampai tidak mengenalimu, putriku. Engkau telah
berubah, putriku.. Apa sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana.
Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu tentang
kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela perkataanku
meski tak sekalipun juga engkau indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku
kuliah, tiba-tiba engkau mengenakan busana takwa itu? Apa pula yang
telah membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini? Putriku, setelah
sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau mengajarkan padaku tentang
hakikat dan makna bersyukur.1997 Putriku, kini aku menulis dengan
suasana yang lain. Ada begitu banyak asa tersimpan di hatiku melihat
perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau menjadi sangat santun,
bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat saudarimu yang kini telah
berumah tangga semuanya. Kini, hanya engkau aku dan ibumu yang mendiami
rumah ini.Kurasakan rumah kita seolah-olah berpendar cahaya setiap saat
dilantuni tilawah panjangmu.
Gemercik suara air tengah malam menjadi irama yang
kuhafal dan pantas kurenungi.Putriku, jika aku pernah merasa bahagia,
maka saat paling bahagia yang pernah kurasakan di dunia adalah saat
ketika diam-diam aku memergokimu tengah menangis dalam sujud
malammu….Selalu kuyakinkan diriku bahwa akulah si pemilik mutiara cahaya
hati itu, yaitu engkau putriku…1998 Putriku, kalau saat ini aku merasa
sangat bangga padamu, maka itu amat beralasan. Engkau telah lulus
menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Keharuan yang menyesak dadaku
mengalahkan puluhan tanya ibumu, diantaranya; mengapa engkau tidak
punya teman pendamping pria seperti kakak-kakakmu terdahulu? Engkau
begitu sederhana, putriku, tanpa polesan apapun seperti lazimnya mereka
yang akan berangkat wisuda, semua itu justru membuatku semakin bangga
padamu. Entah darimana engkau bisa belajar begitu banyak tentang
kebenaran, anakku…Jika hari ini aku meneteskan airmata saat melihatmu
dilantik, itu adalah airmata kekaguman melihat kesungguhan, ketegaran,
serta prinsip yangengkau pegan teguh. Dalam hal ini akupun mesti belajar
darimu, putriku…1 Agustus 1999Putriku, bulan ini usiaku memasuki
bilangan enampuluh tiga. Aku teringat Rasulullah mengakhiri masa
dakwahnya didunia pada usia yang sama.
Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah.
Penyakit jantung yang kuderita selama bertahun-tahun kemarin mendadak
kumat, saat kudapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak
satu pun dari mereka bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina
selama puluhan tahun. Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai
pertimbangan yang lain, yaitu para suami mereka.Sedih hatiku melihat
mereka yang telah kudidik sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh
bersekutu menjauhiku.Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit
ini, itu dengan kondisi sangat lemah, putriku.
Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku.
Putriku….kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan padamu.
Aku percaya padamu…Jika aku memberikan buku ini padamu, itu karena aku
ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa dulu aku
sering memarahimu..maafkan buya, putriku…Kini hanya engkau satu-satunya
harapanku…Aku percaya perguruan yang telah kubangun dengan tanganku
sendiri ini padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah
pesantren. Engkau masih ingat lapangan tempat kita dulu menaikkan
layangan? Itu adalah tanah warisan almarhum kakekmu.Di lapangan itulah
kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau
seorang arsitek, anakku, tentu lebih memahami bangunan macam apa yang
sesuai untuk kebutuhan sebuah asrama pesantren…Kuserahkan sepenuhnya
kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku yakin, dari tanganmu,
dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu
sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah fauzan’adzima, kemenangan
yang besar, seperti yang telah Allah janjikan, yakinlah, putriku…Dalam
diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia dan
akhirat.
Kini kusadari engkau bukan saja sekedar terlahir
dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah. Semoga
Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku.
Amien Ya Rabbal ‘Alamiin.12 Agustus 1999Rabbi, jika airmata ini bukan
tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan buyaku Engkau panggil, tapi
sebab aku belum mengenali buyaku selama ini, seutuhnya. Sebab hanya
seujung kuku baktiku padanya. Rabbi, perkenankan aku menjalankan amanah
Buya dengan segenap radhi-Mu. hanya Engkau..ya Mujib…
(Sumber : Edi S. Kurniawan, Muhammad Haryadi)
0 comments:
Post a Comment