Pagi hari Kamis lalu, 13 Juli 2006, seorang wanita
mudah berusia 24 tahun datang ke Islamic Cultural Center of New York.
Dengan pakaian Muslimah yang rapi, nampak seperti santri bule duduk
menunggu kedatangan saya di Islamic Center New York.
Dengan sedikit malu dan menundukkan muka, dia
memulai percakapan dengan bertanya, “Apa hukumnya seorang Muslimah
bersuamikan non Muslim? Dan apakah seorang wanita yang bersuamikan non
Muslim bisa diterima menjadi Muslimah? Tentu saja saya terkejut dengan
pertanyaan itu. Mulanya saya mengira bahwa sang wanita yang duduk di
hadapan saya ini adalah seorang Muslimah, barangkali dari negara Balkan,
Bosnia atau Kosovo.
Tapi setelah saya tanya, ternyata dia hanyalah
seseorang yang baru menemukan Islam lewat internet (beberapa website
Islam), dan kini secara bulat berniat untuk memeluk agama, yang
menurutnya, the right way for her. Wanita muda itu bernama Jessica
Mendosa. Kelahiran Albany, ibukota negara bagian New York dan kini
tinggal di kota New York (New York City) sebagai mahasiswi di salah satu
universitas di kota ini. Diapun baru menikah dengan suaminya sekitar 4
bulan yang lalu. Setelah berta’aruf lebih dekat barulah saya bertanya
kepadanya: “Kenapa anda menanyakan tentang boleh tidaknya seorang
Muslimah bersuamikan non Muslim? Dan kenapa pula Anda tanyakan apa
diterima seorang wanita masuk ke dalam agama Islam jika bersuamikan non
Muslim?”Dengan sedikit grogi atau malu, Jessica menjawab: “I am very
much interested in Islam.
I have learned it many months”. Saya kemudian
memotong: “Where did you learn Islam?” Dia menjawab: “throughn the
internet (Islamic websites)”. Saya kemudian menanyakan apa hubungan
antara keingin tahuan dia tantang Islam dan seorang wanita bersuamikan
non Muslim. Maka dengan berat tapi cukup berani dia katakana: “I’ve
learned Islam and I am sure this is the right way for me. I am willing
to embrace Islam now. But I’ve a problem. I am a wife of a non Muslim”.
Ketika saya tanyakan apakah suaminya tahu keinginannya tersebut? Dia
menjawab: “yes, and he is very much hostile to my intention”.
Saya tidak langsung menjawab pertanyaannya karena
saya yakin dia masih mencintai suami yang baru menikahinya sekitar 4
bulan silam. Saya justru menjelaskan kepadanya pokok-pokok keimanan dan
Islam, khususnya makna berislam itu sendiri. Bahwa menerima Islam
berarti bersedia menerima segala konsekwensi dari setiap hal yang
terkait dengan ajarannya. “Islam is not only a bunch of ritual
teachings, it’s a code of life,” jelasku. Dalam hal ini seseorang yang
mengimani ajaran Islam dan dengan kesadarannya memeluk Islam berarti
bersedia mengikuti ajaran-ajaran atau aturan-aturan yang mengikat.
Dan penerimaan inilah yang merupakan inti dari
keislaman itu sendiri. Nampaknya Jessica mendengarkan penjelasan itu
dengan seksama. Hampir tak pernah bergerak mendengarkan
penjelasan-penjelasan mengenai berbagai hal, dari masalah-masalah
akidah, ibadah, hingga kepada masalah-masalah mu’amalah, termasuk
urgensi membangun rumah tangga yang Islami dalam rangka menjaga generasi
Muslim masa depan. Ketika saya sampai kepada permasalahan pasangan
suami isteri itulah, Jessica memberanikan diri menyelah: “But I am still
in love with my husband whom I married to just 4 months ago”Saya juga
terkejut dan kasihan dengan Jessica. Hatinya telah mantap untuk menjadi
Muslimah. Bahkan menurutnya: “Nothing should prevent me to convert to
Islam”. Tanpa terasa airmatanya nampak menetes. Saya ikut merasakan
dilema yang dihadapinya. Saya kemudian menjelaskan perihal hukum nikah
dalam Islam dan berbagai hal yang terkait, termasuk persyaratan bagi
wanita Muslim untuk menikah hanya dengan pria Muslim. Penjelasan saya
tentunya tidak bertumpu kepada nash atau berbagai opini ulama, tapi
diserta dengan berbagai argumentasi “aqliyah” (rasional) sehingga dapat
meyakinkan Jessica dalam hal ini.
Pada akhirnya, mau tidak mau, harus terjadi
kompromi. Saya katakan, ketika anda sudah yakin bahwa inilah jalan hidup
yang benar untuk anda ikuti, maka jangan sampai hal ini tersia-siakan.
Namun di satu sisi saya perlu tegaskan bahwa sebagai Muslimah jika tetap
bersuamikan non Muslim maka itu adalah sebuah pelanggaran terhadap
hukum Islam. Untuk itu, setelah mempertimbangkan berbagai pertimbangan
yang terkait, baik berdasarkan “masalih al mursalah” (manfaat-manfaat
yang terkait) maupun realita-realita kehidupan di Amerika, serta yang
paling penting adalah pengalaman-pengalaman mengislamkan selama ini,
saya sampaikan kepada Jessica: “You may embrace Islam. But you have to
find any possible way to convince your husband that you are not allowed
to maintain this marriage if he insists to oppose Islam”. Dengan
penjelasan terakhir ini Jessica nampak cerah, dan dengan tegas
mengatakan: “I’ll give him a chance in 3 months. If he doesn’t want to
follow my way, I will ask for a divorce”, katanya tanpa ragu. Saya
katakan: “Hopefully people will not perceive that Islam separates
between husbands and wives. But this is the rule and I have to tell you
about it”. Oleh karena Islamic Center memang masih sepi, dengan hanya
disaksikan dua orang Brothers, dengan diiriingi airmata, Jessica Mendosa
mendeklarasikan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul
Allah”. Allahu Akbar wa lillah alhamd!Sabtu kemarin, Jessica telah resmi
bergabung dengan kelas khusus yang dirancang untuk para muallaf “The
Islamic Forum for new Muslims” di Islamic Cultural Center.
Saya terkejut, Jessica hadir di kelas itu seperti
seorang Muslim yang telah lama mempelajari agama ini. Bersemangat
menjawab setiap ada hal yang dipertanyakan oleh muallaf lainnya. Sayang
saya belum sempat menanyakan perihal suaminya!, New York, 17 Juli
2006Jessica, Allah bless and further guide you!*)
Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York.
0 comments:
Post a Comment