“Pohon besar ini mungkin akan hidup terus sampai
kiamat, kecuali ada tangan manusia yang menebangnya, ” pikirnya. “Tapi
mungkin pohon ini akan mati sebelum kiamat atau sebelum ditebang. Pohon
ini sangat tua. Tapi yang mengherankan ia selalu menggugurkan
daun-daunnya dan menggantinya dengan daun-daun muda yang baru. Mungkin
pohon besar ini tidak pernah merasa tua. Ia hanya hidup dan terus
melanjutkan kehidupan. Pohon ini seakan-akan menganggap hidup ini tugas,
dan bukan beban.”
Saat itu, tiba-tiba ada orang tua mendatangi sang pemuda. Mereka berkenalan dengan bahasa keramahan. Kakek tua itu juga duduk di akar pohon yang satunya lagi. Mereka saling berhadapan.
“Bapak akan ke mana?” tanya si pemuda.“Aku mencari
sebuah ’entah’, tiba-tiba aku melihat dirimu duduk di sini. Aku melihat
di dalam dirimu ada diriku.”
“Ah, saya tak yakin itu. Saya adalah saya dan Anda adalah Anda. Dan saya lahir dari ibu yang berbeda dengan ibu Anda. Serta pada tanggal yang berbeda pula, karena saya sekarang masih berumur 35 tahun, sedangkan Bapak saya kira-kira sudah lebih 70 tahun.”
“Betul, tapi aku melihat bayang-bayang diriku dalam telaga sukmamu.”“Apakah Anda melihat saya seperti matahari memandang cahayanya sendiri yang memantul pada bulan?”
“Tidak, jauh dari itu. Yang aku rasakan sekarang, rohani kita bagaikan bayi kembar tapi dari rahim ibu yang berlainan.”“Nah, saya kira rumusan itu yang lebih mendekati kebenaran. Jadi kita ini sebenarnya bersaudara.”
“Benar-benar bersaudara atau bersepakat untuk
merasa bersaudara?”“Terserah Bapak. Tapi yang penting kita telah merasa
bersaudara. Karena seandainya saya mati sekarang, Bapaklah yang pasti
bertugas untuk mengubur.”
Perhatian sang pemuda tiba-tiba beralih ke temapt yang jauh. Seakan-akan ia tidak merasa ada teman bicara di dekatnya. Sementara Pak Tua dengan penuh arif hanya memperhatikan teman barunya yang sedang memandang ke arah yang jauh. Udara memang panas, tapi untunglah mereka berada di bawah kerindangan pohon besar. Beberapa ekor burung berkicauan di ranting-ranting yang tinggi seakan-akan menyanyikan kasih sayang Tuhan yang mencelup warna daun-daun.
“Apa yang sedang kau perhatikan, kawan?” tanya Pak
Tua. Sang pemuda terkejut menyadari bahwa dirinya tidak sendiri.
Kemudian jawabnya, “Maaf, perhatian saya tadi digoda oleh bangau yang
hinggap di punggung kerbau di tengah sabah itu. Kedua binatang itu
seakan mengajar kita dengan indahnya persahabatan. “
“Pemaknaanku lain lagi,” kata Pak Tua. “Kedua binatang itu siapa tahu mengejek sebagian manusia yang kini suka bermusuhan, saling fitnah, dan bahkan suka berperang dengan sesamanya.”
“Sebuah interpretasi yang bagus,” ujar sang
pemuda.“Saya setuju. Apalagi kalau dikaitkan dengan peristiwa di
Campuchia sekitar 20 tahun yang lalu. Kita seakan tidak percaya bahwa
pada zaman rezim Kmer Merah di sana, kelaparan telah membuat banyak
orang memakan daging bangkai saudaranya sendiri.”
“Ya, bagaimana itu bisa terjadi?”“Dalam agama, berburuk sangka, membuka aib saudara atau teman, itu sama dengan memakan daging saudara sendiri. Bayangkan, kalau di sebuah negeri, kekayaan negaranya ratusan triliun yang dikorupsi, apa secara hakikat tidak ada orang yang makan daging bangsanya sendiri?”
Sang pemuda termenung agak lama. Memang tak ada air
mata menetes. Cuma di balik itu terasa air mata meleleh di dalam
hatinya. Kemudian ia berpikir, “seandainya tak ada korupsi dan kekayaan
itu digunakan di atas jalan yang lurus, tentu tidak ada orang miskin.”
Cuma, kalimat di atas itu tak sempat ia ucapkan. Pemuda itu lalu pamit menjabat tangan Pak Tua, yang kemudian disambut dengan pelukan erat. Lalu keduanya berpisah tanpa selarik kata. Mereka seperti telah memahami duka kemanusiaan yang sangat lama dan panjang. Mereka adalah orang-orang yang sulit untuk senang sendiri bila bangsanya masih banyak yang menderita.** *
[17:36] Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Oleh D. Zawawi Imron
0 comments:
Post a Comment