Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam
ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang
digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang
hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal,
sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa
(QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam
tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran
Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta
kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar
Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: “Kalau kita
mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan
menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan
sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua.
Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan
perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam
berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”190
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin
tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat
kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama.
Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan
kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan
kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan
kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan.”191
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan
serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah
kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam)
diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
Asal Kejadian Perempuan
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan
pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau
keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak
masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa’:
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa’:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya
Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak
pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan
menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa
dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya
baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan
yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya
dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah
menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar,
menulis: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah
kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang Muslim.”192
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam
pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.
Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum
lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah
karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya
akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra’ ayat 70 ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup
lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang
diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan
maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali’Imran
yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain,
dalam arti bahwa “sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal
dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain
(yakni perempuan) demikian juga halnya.” Kedua jenis kelamin ini
sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal
kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada
perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu,
dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki
tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:
Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar
dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia
sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak
disebabkan “buruk”-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia
berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah!
Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam
rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang
membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan
dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi
juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan
serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan
kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya … (QS 7:20).Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya … (QS 2:36).
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya … (QS 7:20).Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya … (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu
justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai
pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?” (QS 20:120).
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?” (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran
mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan
segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan
dan asal kejadiannya.
Hak-hak Perempuan
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa’ ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa’ ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai
gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat
menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya’, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.193
Kata awliya’, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.193
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam
kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula
dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad
saw.:
Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.
Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak
sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang
pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat
ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.194
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya
(lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada
mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat –termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat –termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan
pada zaman Nabi untuk melakukan bay’at (janji setia kepada Nabi dan
ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay’at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay’at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang
menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa’ ayat 34, Lelaki-lelaki
adalah pemimpin perempuan-perempuan… sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena –kata mereka–
kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik
perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja
tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak
sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang
disebutkan itu.
Ayat Al-Nisa’ 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Ayat Al-Nisa’ 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di
antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu
Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika
memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan
keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan
melawan ‘Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala
Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi
setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan
nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak
sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan
bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan
keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan
menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak
untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama
mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw.
aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai
perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara
lain, Shafiyah bin Huyay196 –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang
pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat
sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu
Sa’ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain
pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif
bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu
beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas’ud,
sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu
mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197
Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh
Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi
pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang
disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak
memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang
bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik “permainan” seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin Rabi’ Al-Anshari).
Sebaik-baik “permainan” seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin Rabi’ Al-Anshari).
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: “Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki.”
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak
untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan
yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum
wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim.
Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung
larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti
Al-Mughni, ditegaskan bahwa “setiap orang yang memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang
lain, atau menerima perwakilan dari orang lain”. Atas dasar kaidah itu,
Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab
fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut
dalam berbagai bidang.199
Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar
kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut
ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan…” (QS 3:195).
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan…” (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir
kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan
kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian
banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat
dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai
dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara
ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (Aisyah).
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr
Al-Nisa’ (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i200 (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang
menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu’nisat Al-Ayyubiyah
(putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat
Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang
sangat terhormat adalah Al-Khansa’, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban
belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status
sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang
berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak
perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang
sangat tinggi.
Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan
seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada
akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya
dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menulis:
“Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya
amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari
hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan
sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda
sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal keagamaan.”203
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan
menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun,
kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana
sabda Rasul saw., adalah Syaqa’iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung
kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama.
Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah
akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada
masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki190 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.
191 Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-’Amat lil Azhar, 1959, h. 193
192 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV, h. 330.
193 Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar’at baina Al-Bayt wa Al-Muitama’, dalam Al-Mar’at Al-Muslimah fi Al-’Ashr Al-Mu’ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194 Ibid.
195 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar’at fi Al-Mujtama’ Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h. 60.
196 Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., ‘Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis ‘Asyar, Kairo, Dar Al-Syuruq 1979, h. 76.
197 Lihat biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma’ Al-Shahabat, karya Ibnu Hajar, jilid IV.
198 Muhammad Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
199 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
200 Ibid., h. 77.
201 Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1965, h. 47.
202 Ibid.
203 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 79.
191 Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-’Amat lil Azhar, 1959, h. 193
192 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV, h. 330.
193 Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar’at baina Al-Bayt wa Al-Muitama’, dalam Al-Mar’at Al-Muslimah fi Al-’Ashr Al-Mu’ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194 Ibid.
195 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar’at fi Al-Mujtama’ Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h. 60.
196 Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., ‘Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis ‘Asyar, Kairo, Dar Al-Syuruq 1979, h. 76.
197 Lihat biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma’ Al-Shahabat, karya Ibnu Hajar, jilid IV.
198 Muhammad Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
199 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
200 Ibid., h. 77.
201 Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma’arif, 1965, h. 47.
202 Ibid.
203 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 79.
MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
0 comments:
Post a Comment